Kamis, 19 Februari 2009

Wajah


Berpikirlah Atas Dirimu

Ah,…Sebuah Penolakan Terhadap Dunia
Jarum jam menunjukkan pukul 03.10 pm, tetap dalam kesunyian.
Tapi kesunyian pada detik ini sangat beda dengan kesunyian sebelumnya. Dikala sunyi terpikirkan,maka sesungguhnya sunyi telah ikut hadir dalam diri yang berfikir tentang sunyi, dan sesungguhnya aku tidak sendiri lagi sebagai sebuah subjek yang berfikir tentang dunia.
Hmm,… pernakah kau berfikir tentang dunia. Dunia dimana manusia berada dalam pilihan-pilihan? Dunia dalam kesendirian! Dunia dalam derita dan aturan yang menjerat sendiri manusia-manusia kedalam kenistaan dunia?. Jika engkau tidak pernah memikirkannya maka engkau sangat bodoh, dan kebodohanmu itu sampai kamu tidak bisa memilih duniamu sendiri. Jangan peduli hukum dan aturan, karena sesungguhnya hukum dan aturan itu ada dalam dirimu sendiri, yang hidup seiring dengan pertumbuhanmu sebagai manusia yang berakal. Pernakah engkau berfikir tentang dirimu yang berada dalam jerat dunia? Ketahuilah bahwa dirimu itu tidak lain dari sampah yang terbuang dan tidak jauh berbeda dengan kertas yang berhamburan dalam pustaka kuno yang tak terawat lagi sekian ribu tahun lalu. Anda tidak akan berarti apa-apa ketika anda tidak bisa memberikan pemaknaan terhadap dunia diluar dirimu, manusia yang berpikir adalah manusia yang keluar dari dirinya dalam rangka melakukan refleksi terhadap dunia dimasa lalu. Penolakan terhadap dunia menjadi bahan reflektif dalam diri setiap entitas yang berpikir, dalam rangka penentuan terhadap pilihan-pilihan yang diberikan pada setiap manusia di alam semesta ini. Penentuan terhadap dunia, menjadi penting sehingga sistem kehidupan manusia dapat berjalan sebagaimana pilihan itu konteks dengan dunia dominan manusia. Maka, untuk mengenal dunia dalam wilayah kesadaran reflektif, haruslah melalui penolakan terhadap dunia-dunia palsu, yang dimotori dengan kemunculan kesadaran palsu dalam konstruk pemikiran kita.

Badik Kebesaran

Eksistensi Sebuah Pelarian

Tidak ada manusia yang terlepas dari masalah, meskipun setiap masalah memiliki jalan keluar, kendatipun solusinya adalah bunuh diri ketika tidak bisa bertahan terhadap apa yang menjadi masalah dalam diri tiap manusia. Masalahnya kemudian, bagaimana bisa bertahan hidup dengan berbagai problem yang harus menjadi beban dalam hidup! Pernakah berpikir untuk dapat keluar dari jaring masalah yang kita hadapi? Paling tidak ada dorongan batin untuk menyelesaikan masalah sekecil apapun masalah tersebut. Manusia...manusia, kapan kau bisa sadar akan hidupmu! Padahal dalam dunia ini hanya satu tujuan mencari jalan menuju akhirat. Kalau kita percaya akan keberadaan akhirat itu, yang kekal dan abadi, kenapa mesti mengundur diri untuk dapat menjalaninya. Tapi, ketika kita berfikir tentang akhirat maka seribu macam masalah yang tak terpecahkan. Nah, pernakah kita berfikir tentang masalah itu?

Selasa, 17 Februari 2009

Sang Kertas Malang

Pukul 02.45 pm, dunia begitu sunyi, tiada terdengar kecuali bisikan hati yang selalu menemani dalam setiap kedip mata, menahan ngantuk, yang terlewatkan melalui goresan setiap kata hati yang mengikuti perginya sang malam. Kuraih setiap lembaran kertas yang berhamburan di lantai dan melihat makna dibalik setiap lembaran. Ah, …tidak mungkin dalam pikirku, menerawang jauh, menatap diriku yang penuh haru. Sungguh manusia begitu kejam terhadap setiap tindakannya, tanpa peduli apa yang ada di sekitarnya. Dunia dalam derita, dunia dalam keterasingan, berharap ada yang memberi kasih dalam kesendirian. Ah, … sebuah hayalan yang mengikuti setiap kepergiannya, dalam renunganku, kuberharap tuk dapat menemui dirimu kembali dalam mimpi didalam tidurku. Jangan bersedih, begitupun diri ini, pikirku, kurelakan kepergianmu tanpa ada duka yang terisap tangis dalam ingatku tentang dirimu, harapku kau dapat kembali dan mengenaliku seperti sedia kala. Tidak ada kata yang bisa keluar dari mulut yang bungkam ini mengiringi kepergianmu, sebuah ingatan pun akan hilang seiring hilangnya engkau dari pandang dan hayalku ini. Selamat jalan dan sampai jumpa dalam setiap hidupmu wahai Si Putih yang merana. Jangan menangis dalam setiap perpisahan ini, sebab perpisahan ini akan menjadi awal dari pemaknaan terhadap hidupmu yang terbuang. Si Putih engkau adalah selembar kertas seputih salju, yang tak memiliki makna dalam hidupmu, kecuali ada yang berbaik hati terhadapmu, dan menjadikanmu sebagai teman setia dalam hidupnya. Nantikanlah setiap orang yang lewat disisimu, dan tetap berdo’a dan berharap untuk diambil dan dimaknai oleh setiap orang. Sehingga kau bukan lagi Si Putih salju yang tak bermakna, akan tetapi menjadi subjek yang bermakna dan berfungsi atas apa yang kau miliki, sehingga orang dapat berkata dan bercerita tentangmu atas dunia dimana engkau dimaknai sebagai subjek, yang memiliki entitas dalam dunia. Sungguh kau sangat berarti bagiku meskipun kau jauh dariku, mungkin suatu saat aku dapat meraih dirimu, dalam lembaran yang berarti dan bermakna untukku.

WAJAH